Sabtu, Desember 21, 2024
No menu items!
spot_img
BerandaBerita AlumniBerbagi CeritaCERITA INTEGRASI DARI SLB/B DENA UPAKARA KE SEKOLAH UMUM

CERITA INTEGRASI DARI SLB/B DENA UPAKARA KE SEKOLAH UMUM

         Pada tahun 1984, dengan ijin Sr. Antonie selaku kepala sekolah si SLB/B Dena Upakara, saya diperbolehkan pindah ke sekolah umum. Saat itu saya masih berumur 11 tahun, duduk di kelas 5 SLB/B Dena Upakara di Wonosobo – suatu kota dingin di Jawa Tengah. Ketika itu di SLB/B Dena Upakara ada 8 kelas, di mana 2 kelas pertama untuk persiapan sebelum menerima pelajaran yang sesungguhnya (tahap belajar artikulasi dan pengenalan kosa kata). Orang tua saya menyambut dengan gembira kabar bahwa saya bisa pindah ke sekolah umum. Sekolah baru yang menjadi pilihan adalah SD Kebon Dalem di Semarang – kota kelahiran saya. Orang tua saya segera menghubungi pihak SD Kebon Dalem untuk menanyakan kesanggupan sekolah tersebut untuk menerima seorang anak tuna rungu pindahan dari SLB/B Dena Upakara. Ternyata pihak SD Kebon Dalem menyyanggupi dan saya diharuskan mengikuti test untuk menentukan saya masuk kelas berapa, hasilnya saya ditentukan masuk kelas 4 SD. Orang tua saya memperkenalkan saya dengan kepala sekolah serta para guru di SD Kebon Dalem untuk menjelaskan keadaan saya dan mengharapkan bantuan selama saya bersekolah di sana. Setelah saya menerima rapor kelas 5 SLB/B Dena Upakara, saya pun meninggalkan SLB/B Dena Upakara dan pindah sekolah di SD Kebon Dalem. Saya pun berpisah dengan teman-teman yang telah bersama saya selama 7 tahun di SLB/B Dena Upakara, saya masuk SLB/B Dena Upakara di usia 4 tahun, pada tahun 1977. Begitu banyak kenangan ketika saya tinggal dan bersekolah di SLB/B Dena Upakara bersama dengan teman-teman, para guru, para suster dan para ibu asrama.

Kenangan bersama Sr. Myriam Therese

      Hari pertama sekolah di SD Kebon Dalem, saya merasa sangat gugup dan tegang membayangkan seperti apa lingkungan sekolah yang baru serta teman-teman yang baru.Saya merasa dikuatkan karena Mami saya ikut mendampingi saya ke sekolah baru dan bahkan Mami saya mengantar sampai ke depan kelas.Mami saya kemudian mencari seorang teman, menemukan dan memperkenalkan saya padanya, teman baru saya bernama Joyce.Mami saya memberi pengertian kepadanya bahwa saya anak tuna rungu jadi tidak bisa mendengar dan meminta bantuan agar saya dibantu selama pelajaran di kelas, juga berharap Joyce mau berteman dengan saya.Demikianlah saya berteman dengan Joyce dari kelas 4 hingga lulus SD kelas 6. Ketika akhir pekan saya selalu main ke rumah Joyce untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas bersama.Papi saya selalu mengantar saya ke rumah Joyce dan juga menjemput saya pulang setelah Joyce menelpon ke rumah saya agar saya dijemput.Pada masa itu belum ada smartphone jadi untuk berkomunikasi masih menggunakan telepon rumah.Kadang-kadang kami berjalan-jalan bersama teman-teman lainnya.Saya beruntung memiliki teman-teman yang baik pada masa itu, mau menerima kekurangan saya dan membantu kesulitan saya.Juga tidak ada satu pun teman-teman yang mengejek atau menghina apalagi membully saya karena keterbatasan saya.

        Awal-awal sekolah di SD Kebon Dalem, saya selalu duduk di baris paling depan agar bisa membaca bibir guru yang sedang mengajar. Bagi anak tuna rungu, segala informasi atau materi pelajaran hanya bisa diterima melalui mata (secara visual) yaitu dengan membaca bibir atau membaca tulisan baik di buku maupun di papan tulis. Selama pelajaran berlangsung, saya berusaha keras membaca bibir guru yang berbicara di depan kelas meskipun banyak kata yang tidak bisa kutangkap karena bicaranya terlalu cepat. Dan juga gurunya bergerak ke sana kemari, kadang memutar badan untuk menulis di papan tulis. Hari demi hari, minggu demi minggu berlalu sampe sampai pada titik saya mulai menyerah, saya merasa kesulitan membaca bibir sehingga tidak memahami materi pelajaran yang diajarkan guru. Saya menceritakan hal itu ke Mami saya, Mami saya memahami kesulitan saya. Kemudian Mami saya mendapat ide, orang tua saya pun segera pergi membeli alat perekam suara dengan kaset (tape recorder) lalu Mami saya menyerahkan tape recorder untuk saya bawa ke kelas. Mami saya menyuruh saya merekam suara guru ketika mengajar di kelas, tentu saja dengan seijin para guru. Setelah sekolah selesai, saya menyerahkan rekaman itu ke Mami saya, kemudian Mami saya akan mendengarkan dan menjelaskan pada saya isi rekamannya sehingga saya mengerti apa yang diajarkan guru. Saat di kelas – ketika guru mengajar, anak-anak akan diminta mencatat di buku, saya selalu meminta bantuan ke teman yang duduk di sebelah saya untuk memotret catatannya agar bisa saya salin, jadi teman saya sambil mencatat sambil mendemonstrasikan catatannya kepada saya, lalu saya berusaha berusaha membaca dengan cepat dan menyalin dengan cepat agar tidak tertinggal. Di kelas, saya yang tertua lebih tua sekitar 2 tahun dibandingkan teman-teman sekelas. Hal ini karena saya masuk kelas persiapan selama 2 tahun dulu untuk belajar artikulasi dan kosa kata dulu sebelum masuk tahap sekolah yang sesungguhnya. Bersekolah di SD Kebon Dalem terasa sangat berbeda dengan ketika bersekolah di SLB/B Dena Upakara. Jumlah anak di kelas SD Kebon Dalem kalau saya tidak salah ingat ada 30 anak lebih, sedangkan di SLB/B Dena Upakara hanya ada 10 anak di kelas saya.

Teman satu kelas saya ketika saya masih di SLB/B Dena Upakara bersama Bu Tutik sebagai wali kelas saya

          Karena guru-guru di SD Kebon Dalem mengetahui keterbatasan saya, maka saat ulangan, saya selalu siap diberi kertas berisi soal-soal ulangan untuk saya kerjakan. sama Teman-teman lainnya mendapat pertanyaan ulang secara lisan. Suatu ketika seorang guru bertanya apakah bisa mengikuti bila ulangan secara lisan, saya mengatakan bisa karena tahu guru itu bisa berbicara dengan jelas dan pelan maka saya pikir seharusnya tidak ada masalah. Demikianlah saat ulangan tiba, malah saya tidak bisa mengerjakan soal-soal ulangan dengan baik karena saya terlalu gugup dan saya terlalu konsentrasi menangkap gerakan bibir guru sampai lupa memahami arti kalimatnya. Sejak itu saya sampaikan kepada guru bahwa saya tidak mampu mengikuti ulangan secara lisan dan meminta ulangan secara tertulis saja. Sungguh terima kasih kepada para guru yang memahami dan selalu mengingat keberadaan saya, juga mau meluangkan waktu menulis di kertas soal-soal ulangan serta menulis di papan tulis agar saya bisa mengerti dan menyalin di buku bersama-sama dengan anak-anak lainnya.

        Selama 3 tahun bersekolah di SD Kebon Dalem, begitu besar peran dan dukungan orang tua saya, hal ini yang menguatkan saya untuk terus menjalani hari demi hari di sekolah baru dengan segala tantangannya dan berbaur dengan teman-teman dengar. Tiap hari pulang sekolah saya selalu bercerita pada Mami saya mengenai bagaimana kegiatan sekolah saya, lalu Mami saya juga tidak pernah lupa mendengarkan rekaman suara dari guru yang mengajar hari itu untuk dijelaskan kepada saya. Mami selalu mendampingi saya mengerjakan PR sampai selesai. Mami saya juga selalu menemani saya belajar, memahami cara menghafalkan materi pelajaran hingga tanya jawab ketika mau ada ulangan sampai saya bisa memahami pelajaran tersebut. Dukungan orang tua sangat penting pada masa transisi sampai anak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, hal ini penting agar anak merasa aman dan tidak merasa kesepian, tidak ketakutan dan tidak stres. Orang tua saya selalu mengatakan kalau saya bisa dan mampu seperti anak-anak lain. Kapan saja dan di mana saja, Mami saya tidak pernah lupa mengoreksi artikulasi saya bila suara saya ada yang salah, agar saya bisa berkomunikasi baik dengan teman-teman maupun dengan guru di sekolah. Demikianlah saya melewati hari-demi hari dengan dukungan yang besar dari orang tua hingga lulus SD dengan nilai yang sangat baik dan membuat orang tua saya bangga.

        Selama Masa transisi dari SLB/B Dena Upakara ke SD Kebon Dalem merupakan masa-masa kritis dan masa penyesuaian, maka sangat membutuhkan dukungan dan pendampingan dari orang tua, dan juga dukungan teman-teman dan serta para guru hingga kita merasa nyaman dengan dunia barunya. Saat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kita menjadi terbiasa dan mampu beradaptasi dengan baik sehingga bisa berbaur dengan teman-teman dengar. Ketika ada masalah datang, kita menjadi mampu dan semakin kreatif dalam mengatasi segala kesulitan sendiri dan tidak bergantung pada orang tua lagi. Lulus dari SD Kebon Dalem, karena nilai akhir saya memenuhi syarat maka saya diterima masuk SMP Domenico Savio Semarang. Perlahan-lahan saya mulai mandiri mengerjakan PR dan belajar sendiri, saya mulai dileskan orang tua untuk beberapa mata pelajaran. Setelah lulus SMP Domenico Savio, saya melanjutkan sekolah ke SMA Kolese Loyola dan kemudian pindah ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Tarumanagara.

 

Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi

Oleh Enny Suharto (Onik)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments

Open chat
MAU TANYA ?
Ajukan pertanyaan