Mungkin para Adeco heran atau malahan bingung bila melihat kolase Angkatan Lulusan Dena-Upakara, karena ada yang ditulis :
- Lulus SLB
- Lulus SD
- Lulus Kejuruan
- Lulus Kejuruan Integrasi (KI)
- Lulus SMP dll ……
Ceritanya begini :
Pada tahun 1938 sampai tahun 1949 :
tidak tersedia data-data murid, kecuali yang tertulis pada Majalah De Vriend, Instituut voor Doven St. Michielsgestel – Nedeland. Pada tahun 1942 tentara Jepang masuk menyerbu Indonesia, para suster dipenjarakan, murid-murid dipulangkan kepada orang tuanya.
Pada tahun 1945 Jepang kalah, Indonesia merdeka. Tetapi Belanda datang Kembali untuk merebut kembali Indonesia yang dijajahnya sebelum Jepang masuk.
Maka Tentara Rakyat Indonesia (TRI) harus mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Maka gedung Dena-Upakara digunakan untuk markas TRI, karena fasilitasnya memadai untuk markas : ada sal tidur dan perabotannya, listrik, air dan ruang-ruang lainnya.
Pada tahun 1945 SLB Dena-Upakara boleh dibuka kembali, tetapi menumpang di SD Pius – di samping gereja St. Paulus Wonosobo.
Karena para suster kelelahan sebagai akibat dari peperangan, maka pada tahun 1949 para suster diminta pulang ke Nederland untuk beristirahat, memulihkan kesehatan setelah terlalu lelah didera perang sejak tahun 1942 sampai 1949.
- 1942 – 1945 dijajah Jepang
- 1945 – 1949 perang agresi Belanda pertama dan kedua.
Pada tahun 1950 para suster misionaris Belanda datang kembali ke Indonesia, mengawali lagi membuka sekolah Dena-Upakara. Para murid lama dipanggil kembali dan dengan tambahan murid-murid baru. Ternyata jumlah murid bertambah banyak, maka pada tahun 1955 para murid laki-laki dipisahkan dan dipindahkan ke bruderan Caritas.
Pada tahun-tahun itu sistem SLB belum ada, karena pemerintah belum mampu menyelenggarakan SLB. Kami bebas menentukan sistem sendiri. Maka kami membuat sistem sendiri, dengan jenjang TK dan SLB. Tentang berapa tahun masa pendidikan di sekolah pun belum diatur oleh pemerintah, yang penting : para murid tunarungu bisa berbicara, bisa menulis – membaca, bisa berhitung, bisa menjahit, merenda, merajut, membuat korsase dan berbagai macam kerajinan tangan. Dan anak yang laki-laki pun demikian, hanya ketrampilannya yang berbeda : bisa membuat sepatu, menjahit, teknik besi, meubel/furniture dan teknik listrik.
Pada awalnya sistem penjejangannya sbb :
- TK : 1 tahun
- SLB : 8 tahun
- Sejak kelas 3 SD mereka sudah belajar merajut, merenda, kerajinan tangan dll.
- Dan pada kelas 7 – 8 mulai belajar menjahit, memasak dan berkebun.
Pengajaran di SLB semakin maju. Maka pada tahun 1965 Pat Sulistyowati diintegrasikan bersekolah di SMP Bhakti Mulia Wonosobo. Dan setelah itu dia melanjutkan ke SMA sampai ke tingkat akademi. Pat mengawali integrasi ke sekolah umum.
Karena pengajaran di SLB kita semakin maju dan berkembang setelah pengalaman dengan Pat Sulistyowati, maka anak-anak mulai diikutsertakan mengikuti ujian SD Umum, dengan memanggil guru privat untuk memberi les, agar pelajarannya disesuaikan dengan materi pelajaran anak kelas 6 SD Umum. Maka setelah tahun 1965, ada sebagian anak-anak yang diikutsertakan mengikuti ujian SD dan lulus dengan menggondol ijazah SD . Mereka mempunyai ijazah dobel : ijazah SD umum dan ijazah SLB.
Pada tahun 1972, mulailah banyak anak yang berijazah SD Umum berintegrasi ke SMP Umum – SMA dan seterusnya, antara lain Dita Rukmini dan Juniati (Yong Hwa). Dan setelah itu bahkan ada anak yang diintegrasikan ke SD Umum, misalnya mulai dari kelas 5 SLB – diintegrasikan ke kelas 3 SD Umum ( turun dua kelas ), maklumlah anak tunarungu harus mnengejar belajar bahasa dan belajar berbahasa dulu, maka turun 2 jenjang itu sudah bagus. Anak-anak itu antara lain : Onik, Erna dan Junita ( Ling ) dan lain-lain.
Pada tahun 1980-an pemerintah mulai mengatur penjenjangan SLB,
Pada perubahan ini, kami menyesuaikan dengan penjenjangan sbb :
- Persiapan 1
- Persiapan 2
- Persiapan 3
- Bahasa 1, Bahasa 2, Bahasa 3 dst ,,,, sampai Bahasa 6 – Lalu ujian SD
( Sebetulnya itu sama saja dengan sebelumnya – lama pendidikan 9 tahun, tetapi namanya beda ).
Dengan ditambah 2 tahun ajaran :
- Kejuruan 1
- Kejuruan 2
Karena banyak orang tua murid yang menghendaki anaknya lebih lama belajar ketrampilan di Dena-Upakara, maka ada tahun-tahun dimana kelas kejuruan diselenggarakan selama 4 tahun, yang meliputi :
- Kejuruan 1 ( SMP/LB 1 )
- Kejuruan 2 ( SMP/LB 2 )
- Kejuruan 3 ( SMP/LB 3 )
- Kejuruan 4 ( Kelas jembatan masuk dalam dunia kerja ).
Ternyata banyak anak dari kelas Kejuruan 3 bisa melanjutkan ke SMK Umum, karena pelajaran mereka di Kejuruan 1, 2 dan 3 setara dengan SMP Umum, malahan SMP plus ketrampilan.
Anak-anak bebas memilih : mau ke SMP/LB dulu, atau mau langsung integrasi ke SMP Umum.
Ada satu perkecualian, yaitu antara tahun 1972 sampai tahun 1978 :
Dena-Upakara mencoba mengintegrasikan Kelas Kejuruan ke kursus-kursus Umum, dengan tetap mendapat pelajaran SLB di sekolah Bintaran Kulon 6, Yogyakarta.
Ada yang mengikuti kursus menjahit, bordir, mengetik, paes dan salon kecantikan. Hasilnya bagus. Pergaulan mereka luas. Ketrampilan mereka hebat. Setelah lulus bisa langsung bekerja sebagai penjahit (modiste) dan pekerja salon (kapster)
Namun sayang seribu sayang, ada persoalan dengan Gedung yang tidak bisa dipakai lagi karena mau digunakan oleh pemiliknya, maka Kejuruan Integrasi ini kembali ke Wonosobo lagi.
(bersambung ….)
Ditulis oleh :
Sr. Antonie
Bersambung… penasaran dengan kelanjutan kisah peristiwa ini suster..