Tanggal 6 Oktober 2024 yang lalu, Sr. Ester dan saya mengunjungi Mirmo. Nama lengkapnya : Palimirmo Mubiaringtyas. Apakah ada yang masih kenal Mirmo ? Dia kakak beradik bersekolah di DU Wonosobo. Kakaknya bernama Dwi. Nama lengkapnya Dwi Asmarawati. Mereka berdua berasal dari Salatiga yang kemudian pindah ke Magelang karena pekerjaan orang tuanya. Kini ayah ibunya sudah tiada.
Mirmo sudah menikah, dan dikaruniai dua orang anak. Dia membesarkan dan menyekolahkan anaknya seorang diri, karena suami meninggalkannya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dia harus bekerja banting tulang untuk menghidupi, membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Untuk itu dia harus bekerja serabutan apa saja yang bisa dikerjakannya, asalkan halal. Tuhan memberi jalan penghidupan yang dapat ditempuhnya, walaupun berat. Dia mendapat pekerjaan sebagai pekerja kasar di Proyek Pembangunan, di bawah majikan Sub – Proyek yang bernama Pak Bambang, yang adalah juga seorang penyandang tunarungu (NON Adeco). Ternyata pak Bambang adalah teman sekolah suami yang meninggalkannya itu. Sebelum Mirmo bekerja di situ, Supriyono (Alumni DB) suami RIP Sri Sumaryatun (Alumni DU ) juga bekerja di proyek pak Bambang. Di Sub-Proyek itu ada beberapa anak tunarungu non Adeco yang menjadi anak buahnya pak Bambang. Maka Mirmo akhirnya mempunyai jaringan sosial di antara para alumni non Adeco.
Anak Mirmo yang pertama bernama Liana. Menyadari keterbatasan ekonomi ibunya, anak ini berinisiatif untuk bekerja setelah lulus SMP. Maka dia pamit untuk pergi bekerja agar meringankan beban ibunya. Dia bersikeras untuk bekerja walau Mirmo mencegahnya. Maksud Mirmo agar Liana menyelesaikan SLA dulu. Namun tetap saja Liana berangkat bekerja. Sayang seribu sayang, sampai sekarang dia tidak pulang-pulang. Tiap hari Mirmo menangisi dan berdoa untuk Liana, namun sampai sekarang Liana belum muncul juga. Mohon doanya ya.
Saya sebagai aktivis untuk Anti Perdagangan Manusia, sangat kuatir kalau-kalau dia terjebak dalam jaringan perdagangan manusia ini. Karena modus operandi perdagangan manusia ini sangat halus, lembut dan cerdik dalam membujuk. Mereka menjanjikan memberi pekerjaan yang baik dan bergaji tinggi, namun tahu-tahu “dijual” tanpa sepengetahuannya. Semoga saja tidak terjadi yang seperti itu padanya.
Anak keduanya bernama Mario, telah menyelesaikan STM. Kini Mario sudah bekerja di Amerika, sebagai awak kapal pesiar. Dia sudah menikah, dikaruniai dua orang anak. Hal itu membuat Mirmo gembira karena anaknya berhasil “mentas”, artinya : sudah bisa mandiri dalam hidup.
Mirmo bekerja selama 10 tahun di sub-proyek bangunan itu. Mengaduk semen, mengantarkan kepada si tukang batu, menggali sumur dll. Pendeknya bekerja sebagai buruh bangunan.
Kemudian karena pekerjaan itu sangat berat, dia beralih menjadi PRT pada sebuah keluarga di kampung Bausasran. Nasib baik belum berpihak padanya. Dia mendapat kecelakaan jatuh dan kakinya cedera. Sekarang dia menjadi pemulung. Suatu pekerjaan yang dianggap rendah oleh masyarakat. Tetapi masyarakat lupa, bahwa sebagai pemulung ini mereka mencari penghidupan yang halal. Tidak mencuri, tidak mengambil hak orang, tidak melacur.
Dia bukan pemulung yang berkeliling kota dan kampung-kampung untuk mengumpulkan plastik dan sampah lho. Dia mendapat berkah dari Tuhan karena barang pulungannya itu datang sendiri ke rumah kost-nya. Dia ditawari oleh pegawai gudang PJKA apakah mau mengumpulkan karton bekas paket itu. Dia beruntung rumah kost-nya ada di belakang gudang PJKA. Gudang PJKA sering membongkar barang dari gudang dan membuang kotak kartonnya. Nach, kotak kartonnya ini yang diberikan kepada Mirmo dan dengan sukacita dia mengumpulkannya. Itulah rejeki yang datang dari Tuhan, berupa bungkus paket yang tidak digunakan lagi oleh PJKA. Tuhan memberikan rejeki kepada orang miskin yang dikasihiNya dengan cara yang luar biasa.
Tidak hanya itu !
Dalam jaringan relasinya dengan alumni non Adeco, dia berkenalan dengan bu Temmy Windarsih, seorang penyandang tunarungu juga Non Adeco. Dia orang mampu / orang berada. Dia mempunyai dua rumah : 1) Rumah warisan dari orang tuanya dan 2) Rumah warisan dari budhe-nya. Waktu kecil dia dirawat oleh budhenya, karena bude tidak mempunya anak. Nach budhe ini juga mewariskan rumah kepadanya. Bu Temmy sekarang tinggal di rumah warisan dari orang tuanya. Dan rumah warisan keduanya dari budhe, digunakan untuk rumah kost, ada sekita 8 kamar. Rumah kost ini dipercayakan kepada Mirmo untuk mengelolanya, maka Mirmo juga boleh tinggal di situ dengan sewa extra murah khusus untuknya. Rumah kost ini persis ada di belakang Gugang PJKA.
Kemarin tanggal 6 Oktober 2024, Mirmo mengundang saya untuk hadir dalam acara arisan komunitas tunarungu non Adeco itu. Ada 32 orang yang hadir dari sekitar Yogya, sampai Klaten dan Bantul. Dia mau memperkenalkan kami kepada teman-teman jaringannya non Adeco. Sekaligus Mirmo juga mau menceritakan bahwa kami adalah gurunya. Kami dapat merasakan suasananya. Mereka berelasi dengan akrab dalam persaudaraan. Arisan hanyalah sarana. Yang terpenting adalah membangun relasi persaudaraan. Dan Mirmo juga mempunyai kesempatan untuk menceritakan kisah suka duka hidupnya kepada kami.
Kecuali menjadi pemulung, mengelola kost, dia pun rajin membuat dompet dari bahan benang rajutan dan benang rendaan untuk dijual. Lumayan juga, ada banyak orang yang memesan dompetnya.
Ayo Mirmo, maju terus !
Bersemangatlah untuk mengarungi kehidupan.
Tuhan tidak akan menyia-nyiakan hambanya
yang berusaha mengatasi kesulitan hidup.
Ditulis oleh : Sr. Antonie
Wow…..kisah yang sungguh-sungguh mengharuhkan..setelah baca, ku terharu dan terenyuh atas perjuangan bu MIr ( nama panggilan) tidak pantang menyerah dalam bekerja demi sesuap nasi dengan kondisinya terbatas….. Salah satu saya beruntung pernah berkunjung dan ketemu ama bu Mir di kostnya,Yogyakarta. Ku hanya tahu nama Palimirmo Mubiaringtyas dari teman ADECO waktu bu MIr lagi butuh tongkat jalan yang layak saat kakinya pincang. Maka secara inisiatif saya mengirim tongkat jalan buat dia.. Terima kasih banyak atas Sr.Antonie udah menulis kisah bu MIr untuk MSMP….