Bersambung dari edisi no. 3 / II / April / 2025
Kesimpulan:
Kasus pembakaran kereta api di Yogyakarta yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 17 tahun bukan hanya suatu berita yang mengejutkan, tetapi juga suatu momen yang mengundang banyak refleksi. Di balik tindakan yang tampaknya destruktif itu, ada sebuah kisah yang penuh dengan luka, rasa sakit, dan frustrasi—hal-hal yang mungkin jarang kita pahami dari perspektif seorang penyandang disabilitas.
Remaja ini adalah bagian dari komunitas tuli, sebuah kelompok yang sering kali menghadapi tantangan besar dalam berkomunikasi dan menyuarakan aspirasinya di dunia yang didominasi oleh komunikasi verbal. Ketika ia merasa sakit hati karena sering diturunkan dari kereta tanpa tiket, perasaannya tidak hanya sebatas dendam personal; itu adalah manifestasi dari rasa ketidakadilan yang mungkin telah ia akumulasi selama bertahun-tahun. Dalam dunia yang kurang inklusif, di mana hak-hak mereka sering kali terabaikan, rasa frustrasi tersebut dapat berkembang menjadi kemarahan yang sulit untuk dikendalikan.
Bagi sesama insan tuli, kasus ini mungkin mencerminkan sebuah realitas yang akrab: betapa sulitnya berhadapan dengan sistem yang sering kali tidak ramah terhadap kebutuhan mereka. Ketika pelaku diturunkan dari kereta, apakah ada upaya komunikasi yang dilakukan untuk memahamkan situasi dengan cara yang inklusif? Ataukah dia hanya dibiarkan merasa diperlakukan tidak adil tanpa kesempatan untuk menjelaskan dirinya? Kejadian ini mengungkap sebuah celah besar dalam sistem kita—kebutuhan untuk memastikan bahwa semua pihak, tanpa memandang kemampuan fisiknya, memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan informasi yang jelas.
Namun, rasa simpati tidak berarti membenarkan tindakan pelaku. Membakar fasilitas umum adalah perbuatan yang salah, terlepas dari apa pun latar belakang atau kondisi seseorang. Kerusakan yang terjadi bukan hanya materiil, tetapi juga menciptakan rasa khawatir dan ketidaknyamanan bagi masyarakat luas. Tetapi, bukankah itu justru menunjukkan betapa mendesaknya kita untuk memperbaiki sistem ini? Sebuah sistem yang inklusif tidak hanya mencegah konflik, tetapi juga memberikan ruang bagi semua orang untuk merasa didengar, dimengerti, dan diperlakukan dengan adil.
Dari sudut pandang komunitas tuli, kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya solidaritas. Satu tindakan ekstrem dari individu tertentu bisa memengaruhi persepsi publik terhadap seluruh komunitas, memicu stereotip atau bahkan stigma baru. Namun, ini juga bisa menjadi peluang untuk memperkuat advokasi dan menyuarakan kebutuhan akan aksesibilitas yang lebih baik. Mungkin inilah saatnya bagi kita semua—baik komunitas tuli maupun masyarakat umum—untuk merenungkan kembali bagaimana kita bisa menciptakan dunia yang lebih inklusif, di mana tidak ada orang yang merasa terisolasi atau dilupakan.
Akhir kata, kasus ini mengajarkan kita tentang kompleksitas manusia. Di balik setiap tindakan, bahkan yang paling destruktif sekalipun, sering kali ada cerita yang tidak terlihat. Cerita tentang rasa sakit, harapan yang pupus, atau suara yang terlalu lama diabaikan. Mari kita jadikan momen ini sebagai pembelajaran, bukan hanya untuk memperbaiki sistem, tetapi juga untuk memperbaiki diri kita sebagai individu yang lebih empatik dan peduli.
Dari yang tinggal di daerah pesisir:
G. Adi Antasena Primawesi (DB- 2007)
ADECO wilayah Kedu