Daniel Prasetio, kelahiran 1979 Semarang, adalah seorang alumni SLB/B Don Bosco -Wonosobo angkatan 1998. Perjalanan pendidikan Daniel dimulai pada tahun 1984 di SLB/B Don Bosco, tempat ia belajar bersama teman-teman sekelasnya seperti Rio, Hengky, Aris, Yudhi, dan lainnya. Saat itu, kelas mereka terdiri dari 15 murid, dan Bruder Petrus kepala sekolah SLB/B Don Bosco. Daniel merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Sejak kecil Daniel mengalami gangguan pendengaran sehingga ia menggunakan alat bantu dengar untuk mendengar dan berkomunikasi, Daniel mampu berbicara dengan jelas layaknya orang dengar. Daniel pun bisa mendengar dengan baik dengan bantuan alat bantu dengar tersebut, bahkan bisa menelpon. Namun tanpa alat bantu dengar, Daniel tidak bisa mendengar dan untuk berinteraksi, ia mengandalkan kemampuan membaca gerak bibir lawan bicara.


Pada tahun 1990, Daniel pindah ke SLB/B Widya Bakti di Semarang, tempat ia melanjutkan pendidikan dari kelas 4 hingga kelas 6. Setelah itu, pada tahun 1993, Daniel melanjutkan sekolah ke SD Don Bosco di Semarang hingga lulus pada tahun 1996. Setelah menyelesaikan SD, Daniel diterima di SMP Yohanes 23 – Semarang, dan kemudian melanjutkan pendidikan di SMU St. Kristoforus di Jakarta Barat pada tahun 1999, jauh dari kota kelahirannya.
Daniel mengenang di hari pertama ia pindah ke SD Don Bosco, orang tuanya mengantar ke sekolah untuk memberikan dukungan dan rasa nyaman di lingkungan sekolah yang baru. Ini adalah pengalaman pertama Daniel di sekolah umum setelah sebelumnya bersekolah di SLB/B. Hari berikutnya, Daniel mulai pergi ke sekolah sendiri didampingi oleh supirnya, tanpa ditemani orang tua. Begitu memasuki SMP, Daniel semakin mandiri dan tidak lagi diantar oleh orang tuanya ke sekolah.
Selama masa sekolah di SMP dan SMU, Daniel bergaul dengan baik dan diterima dengan hangat oleh teman-temannya. Agar ia dapat mendengar pelajaran di kelas dengan jelas, ia sering ditempatkan di bangku paling depan. Meskipun sesekali merasa mengantuk, Daniel tetap mampu mengikuti pelajaran dengan baik berkat alat bantu dengarnya. Ketika baterai alat bantu dengarnya tiba-tiba habis saat ulangan atau ujian lisan, Daniel tidak ragu untuk memberi tahu guru. Para guru pun dengan sigap memberikannya ujian tertulis di meja guru, sementara teman-temannya tetap menjalani ulangan atau ujian lisan seperti biasa. Para guru selalu memperhatikan kebutuhannya, sehingga Daniel merasa didukung dan tetap dapat belajar dengan nyaman.
Saat berpindah dari SD dan SMP di Semarang ke SMU di Jakarta, Daniel merasakan perbedaan dalam lingkungan pendidikan, terutama dari cara para guru mengajar. Di Semarang, para guru lebih serius dalam menyampaikan pelajaran di kelas, sementara di Jakarta, para guru cenderung lebih santai dan sering bercanda saat mengajar di kelas. Teman-teman di Jakarta juga lebih gaul dan asyik, membuat pengalaman sekolahnya semakin menyenangkan. Selama masa SMU di Jakarta, Daniel tinggal bersama kakaknya yang saat itu sedang berkuliah di Universitas Tarumanagara, sementara orang tua tinggal di Semarang. Sayangnya, kenangan foto dari masa-masa sekolah di SMU telah rusak dimakan rayap sehingga Daniel tidak bisa berbagi kenangan.
Sebagai pesan untuk adik-adik Tuli yang ingin atau sedang melanjutkan pendidikan di sekolah umum, Daniel berpesan agar tetap semangat dan tidak mudah menyerah. Perjalanan hidupnya, yang penuh tantangan sejak kecil hingga akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan, menjadi bukti bahwa dengan tekad dan dukungan yang tepat, tidak ada hal yang mustahil untuk diraih. Orang tua Daniel sangat mendukung perjalanan pendidikan Daniel sehingga Daniel berhasil lulus SMU dengan baik. Kini Daniel menetap di Semarang, sudah menikah dengan istri dengar serta memiliki dua putra cakep dan dua putri cantik yang sehat.

Ditulis oleh Enny Suharto (Onik), Alumni DU 1987
Berdasarkan wawancara dengan Daniel