Di sebuah kota kecil yang sejuk bernama Temanggung, pada 23 April 1991, lahirlah seorang anak perempuan bernama Wening Kurnia Pangesti. Dalam bahasa Jawa, “wening” berarti tenang atau jernih. Dalam bahasa Indonesia, “wening” juga berarti bening. Dan seperti namanya, Wening tumbuh menjadi sosok yang lembut namun bersinar dalam diamnya. Wening adalah anak bungsu dari dua bersaudara, dan telah mengalami tuli total sejak lahir. Setelah kedua orang tuanya pensiun, keluarga mereka kembali ke kampung halaman orang tuanya di Kulonprogo – Yogyakarta.
Perjalanan pendidikan Wening dimulai sejak usia lima tahun, ketika ia bersekolah di SLB/B Dena Upakara Wonosobo pada tahun 1996. Di bawah kepemimpinan Bu Untari sebagai kepala sekolah di SLB/B Dena Upakara, Wening belajar bersama 14 teman sekelasnya hingga akhirnya lulus pada tahun 2005. Wening melanjutkan pendidikan ke SMPLB Dena Upakara – Wonosobo dan berhasil lulus pada tahun 2008.

Namun, itu bukanlah akhir dari perjalanan — justru di sanalah tantangan sesungguhnya dimulai. Setelah lulus dari SMPLB Dena Upakara, Wening melangkah ke dunia pendidikan yang berbeda: dunia di mana ia harus berbaur dengan anak-anak dengar. Wening melanjutkan ke SMK PIUS X Magelang, memilih jurusan Tata Busana. Di sekolah umum inilah ia menghadapi tantangan baru — sebuah lingkungan yang dipenuhi oleh suara, sementara ia sendiri hidup dalam sunyi. Hal ini membuat Wening gugup namun berhasil menghadapinya dengan baik berkat dukungan dari orang tuanya.
Di sekolah barunya, Wening sempat mengalami kesulitan memahami penjelasan guru maupun percakapan teman-teman. Namun, ia tidak menyerah. Wening belajar menyiasati keterbatasannya: ia rajin mencatat, bertanya melalui tulisan, dan tak ragu bertanya kepada guru atau teman demi memahami pelajaran. Sedikit demi sedikit, ia berhasil menaklukkan tugas-tugas yang awalnya terasa sulit. Hingga akhirnya, ia lulus dengan hasil baik. Baginya, keberhasilan itu tak lepas dari dukungan para guru serta teman-teman di SMK PIUS X Magelang yang menerimanya dengan baik.
Selama bersekolah di SMK, Wening masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Temanggung. Setiap hari, ia menempuh perjalanan pulang-pergi ke sekolahnya di Magelang, diantar oleh orang tuanya. “Perjalanannya sekitar 40 menit,” kenang Wening. Dukungan dan kasih sayang orang tuanya tak pernah surut, menjadi kekuatan besar dalam langkahnya.
Beberapa bulan setelah lulus dari SMK, Wening mendapat tawaran untuk mendapatkan training di PT ATMI Solo selama 4 bulan kemudian, diperpanjang 6 bulan lagi. Setelah selesai menjalani masa training, Wening sempat bekerja di Protecda – Wonosobo selama 2 tahun di bagian mesin. Protecda singkatan dari Productivity and Training Center for Deaf dengan visi sebagai pusat produtivitas dan pelatihan bagi insan tuna rungu yang mandiri, profesional dan membangun keutuhan diri di Indonesia. Untuk mengetahui secara lengkap mengenai Protecda bisa dibaca di sini.
Setelah dari Protecda, Wening melanjutkan magang selama tiga bulan di ATMI Cikarang, Jawa Barat, pada divisi hidroponik. Sejak lulus SMK, ia tidak pernah berhenti belajar dan terus menambah pengalaman — dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tantangan ke tantangan berikutnya. Hingga akhirnya, semua proses itu membawanya kembali ke PT ATMI Surakarta, kali ini sebagai karyawan tetap.
Saat ini Wening tinggal di Solo dan bekerja di PT. ATMI IGI Center Surakarta di bagian polish, bagian yang bertanggung jawab untuk menjaga kondisi mold agar tetap optimal dan bekerja dengan baik. PT ATMI IGI merupakan perusahaan manufaktur yang berfokus pada pengembangan produk berkelanjutan dan manufaktur presisi, khususnya dalam bidang pembuatan cetakan (mold), injeksi plastik, dan stamping logam.
Di PT ATMI IGI, Wening bukan satu-satunya pekerja tuli. Sebelumnya telah ada pekerja tuli yang bekerja di sana jauh sebelum Wening, namanya Hendrik seorang alumni SLB/B Don Bosco – Wonosobo. Meski mereka bekerja di divisi yang berbeda, Wening kerap bertemu Hendrik di lingkungan kerja. Kehadiran mereka sebagai pekerja tuli menjadi bukti bahwa ruang kerja inklusif itu nyata. Tak terasa, sudah delapan tahun Wening berkarya di PT ATMI IGI. Ia tinggal di sebuah kost yang tak jauh dari tempat kerja, jauh dari rumah orang tuanya di Yogyakarta. Hidup mandiri menjadi bagian dari perjalanan yang membentuknya menjadi pribadi tangguh.
Wening telah menjelma menjadi sosok yang kuat dan mandiri — bukan karena suaranya lantang, tapi karena semangatnya tak pernah padam. Untuk teman-teman tuli yang ingin mengikuti jejaknya, Wening punya satu pesan sederhana namun dalam: “Tantanglah dirimu dan jangan berhenti belajar. Nikmati prosesnya.”
Ditulis oleh Enny Suharto (Onik) Alumni DU angkatan 1987
Berdasarkan hasil wawancara dengan Wening
Sumber literatur: Protecda Wonosobo