Kubaca di salah satu grup WA di mana terjadi keributan komentar soal adanya seorang pelaku pembakaran kereta api yang ternyata adalah seorang insan tuli dan sudah ditangkap. Tanggapanku: “Ah, masa sih?” Bagiku, tidak mungkin seorang tuli berani membakar fasilitas publik. Maka dengan rasa penasaran aku buka link berita yang diberikan di grup WA oleh seorang teman. Berikut kutipan dari berita tsb.:
“Polisi berhasil mengungkap kasus pembakaran tiga kereta di jalur stabling timur Stasiun Yogyakarta. Tersangkanya adalah seorang remaja penyandang disabilitas berusia 17 tahun berinisial M, warga Jakarta. Motif pembakaran tersebut terungkap setelah penyidik melakukan pemeriksaan dengan bantuan juru bahasa isyarat.” (https://www.instagram.com/p/DHIYyCJxv6f/)
Oh, ada JBI (Juru Bahasa Isyarat), jadi rupanya memang si tersangka itu seorang tuli. Kenapa ia begitu nekat mau membakar kereta api? Dalam pemeriksaan yang melibatkan juru bahasa isyarat, terungkap bahwa pelaku memiliki dendam terhadap PT Kereta Api Indonesia (KAI). Endriadi menjelaskan, tersangka mengaku telah bermasalah dengan KAI sebanyak sembilan kali. (https://www.instagram.com/p/DHIYyCJxv6f/)
Kok bisa dendam? “Yang bersangkutan sering naik kereta tanpa tiket sejak tahun 2023 hingga 2024, sehingga beberapa kali diturunkan dari kereta. Dia sakit hati,” jelasnya. Komentar-komentar pada grup WA terjadi pro dan kontra soal kasus itu. (https://www.instagram.com/p/DHIYyCJxv6f/)
Kini aku mengerti, siapa saja yang dipaksa diturunkan dari kendaraan pasti akan merasa sakit hati. Apalagi tempat tujuannya masih jauh. Lebih kaget lagi ketika kubaca gambar berisi berita yang dibagikan oleh teman, sbb.:
(sumber: https://ekonomi.espos.id/sakit-hati-motif-remaja-asal-jakarta-bakar-3-gerbong-ka-di-stasiun-jogja-2071513)
Ternyata si tersangka pernah melakukan aksi perbuatan lainnya. Aku langsung merenung, mengapa semua bisa terjadi? Semua berita itu memang memancing emosi dan refleksi. Kasus seperti ini menunjukkan kompleksitas manusia, termasuk bagaimana pengalaman hidup dan rasa sakit hati dapat memengaruhi tindakan seseorang. Fakta bahwa pelaku adalah seorang insan tuli juga menunjukkan pentingnya aksesibilitas dan komunikasi yang inklusif, terutama dalam proses hukum.
Kasus ini mengangkat beberapa poin penting, seperti keadilan sosial, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, serta bagaimana pengalaman buruk dapat memengaruhi perilaku seseorang. Dari berbagai sudut pandang, pelajaran utama yang bisa diambil dari peristiwa ini sebagai berikut:
- Sudut Pandang Pelaku
Motif dan Emosi: Pelaku merasa sakit hati akibat sering diturunkan dari kereta api karena tidak memiliki tiket. Perasaan tersebut bisa jadi mencerminkan tekanan psikologis, rasa malu, atau rasa ketidakadilan yang dirasakan.
Kondisi Khusus: Sebagai seorang insan tuli, pelaku mungkin menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dan menyampaikan emosinya dengan cara yang sehat, sehingga rasa frustrasi tersebut memuncak dalam tindakan destruktif.
- Sudut Pandang Korban (PT KAI dan Publik)
Dampak pada Fasilitas: Kerugian besar dialami oleh PT KAI sebagai penyedia layanan transportasi publik. Selain kerusakan fisik pada kereta, kasus ini juga dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap keamanan layanan.
- Sudut Pandang Hukum
Aksesibilitas dalam Proses Hukum: Melibatkan juru bahasa isyarat dalam penyidikan adalah langkah penting untuk memastikan pelaku mendapatkan proses hukum yang adil, meskipun ini tetap menimbulkan pertanyaan tentang keadilan untuk korban.
Pertanggungjawaban: Usia muda pelaku dan statusnya sebagai penyandang disabilitas bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penjatuhan hukuman, dengan memperhatikan rehabilitasi sebagai alternatif pemenjaraan.
- Sudut Pandang Psikologi dan Sosial
Tekanan Sosial: Tindakan pelaku mungkin mencerminkan kegagalan sistem sosial dalam mendukung individu dengan kebutuhan khusus. Rasa tidak diterima atau dimengerti oleh masyarakat bisa menjadi akar dari perilaku ekstrem.
Kesadaran Publik: Kasus ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya aksesibilitas dan inklusi, khususnya dalam sektor transportasi.
- Sudut Pandang Media
Penyajian Berita: Cara media melaporkan kasus ini dapat memengaruhi opini publik, baik dalam memberikan simpati kepada pelaku atau dalam mengecam tindakannya.
Pengaruh Media Sosial: Diskusi dalam grup WhatsApp atau platform lain mencerminkan bagaimana informasi dan opini tersebar dengan cepat, yang kadang-kadang dapat memicu perdebatan yang kurang mendalam.
Kesimpulan: (Bersambung ke-2)
Gregorius Antasena Primawesi (DB- 2007)
ADECO wilayah Kedu