Terkait BULAN BAHASA ini dalam rangka memperingati Hari SUMPAH PEMUDA 28 Oktober 2024, melalui majalah ini saya ingin berbagi pengalaman tentang belajar bahasa Indonesia di sekolah Dena Upakara yang merupakan suatu memory yang sangat berkesan …. masih tergores dalam hati saya selama hidup!
Pada usiaku 2 tahun sudah tampak jelas menunjukkan bahwa aku TULI karena tidak berceloteh, tidak pernah bisa menyanyi, bersikap diam…. Seorang dosen UGM yang baru pulang dari Amerika memberi informasi tentang cara melatih bicara. Beliau memberi contoh melatih saya bicara. Ibu saya minta agar dosen itu berkenan memberi terapi wicara tetapi dosen tersebut tidak bisa karena kesibukannya di kampus UGM, lalu ibu saya terpaksa harus bisa berusaha mencoba melatih aku berbicara. Menurut cerita ibu bahwa saya susah melafal beberapa huruf konsonan, ibu bingung tidak tahu cara melatih dengan benar. Juga bingung mengajarkan saya dengan bahasa apa.
Diadakan rapat keluarga yang melibatkan eyang kakung / eyang puteri (orang tua pihak ibu), eyang puteri dari pihak bapak, orang tuaku dan kakak-kakak saya untuk membicarakan permasalahanku. „Bahasa yang mana cocok untuk Dita“, begitu ceritanya. Mereka berdebat cukup seru. „Bahasa Jawa atau bahasa Indonesia ?“ (Bahasa isyarat belum dikenal). Akhirnya pilihannya adalah bahasa Jawa karena saya keturunan orang Jawa lahir di kota Yogyakarta. Ibu yang pertama mengajarkan saya berbicara dengan bahasa Jawa padahal ibu saya paling suka Bahasa Belanda karena didikan jaman penjajahan Belanda maka tidak begitu kuasai bahasa Jawa dengan baik.
„Sijiiii….loroooo….teluuu…papaaat….limoooo…..“,aku mulai belajar mengeja angka-angka sambil berisyarat angka. Aku berbicara terbata-bata. Masih ingat beberapa kata antara lain:Maaaeeem….mimiiiik….emoooh…..kateees…..omaah…..petik….boboook ., menghafalkan nama-nama kakak-kakakku, sanak saudaraku….teman2 tetaanggaku.
Seluruh keluarga dan sanak saudaraku berusaha melatih aku berbicara dalam bahasa Jawa. PRT (Pembantu RumahTangga) yang mengasuh saya pada usia Balita pun ikut melatih saya berkata-kata.
Pada usia 5 tahun aku bersekolah di Taman Kanak-kanak umum di lingkungan UGM, tetapi tidak dapat mengikuti pelajaran menyanyi, hanya dapat menulis dan berhitung. Orang tuaku mendapatkan informasi dari salah seorang Romo di pertapaan Rowoseneng yang kenal Sr. Martino, CB yang adalah kakak Sr. Henricia, PMY. Dia bekerja sebagai perawat di RS Panti Rapih Yogyakarta, dan bahwa Sr. Henricia, PMY adalah guru sekolah khusus anak Tuli di Wonosobo yang dikelola suster Puteri Maria dan Yosef. Pada tahun 1962 aku didaftarkan ke SLB/B DENA UPAKARA, Wonosobo, Jawa Tengah tetapi ditolak karena asrama sudah penuh. Disarankan aku menunggu 3 (tiga) tahun lagi. Bapak saya yang berusaha mencari guru untuk memberikan les pada saya di rumah, akhirnya berhasil menemukan seorang mahasiswi Fakultas Pendidikan UGM, yaitu bu Murniati. Selama tiga tahun itu, aku diberi les privat artikulasi / latihan bicara dan berhitung setiap minggu 2 kali oleh ibu Prof. DR. Murniati (RIP). Terima kasih kepada bapak saya, yang berhasil menemukan guru sehingga aku dapat belajar di rumah selama menunggu panggilan dari SLB/B Dena Upakara.
Tiga tahun kemudian pada bulan Agustus 1965 aku mulai masuk ke asrama dan sekolah SLB/B Dena Upakara, Wonosobo, sebuah desa di pegunungan yang berudara dingin. Berhubung aku sudah dapat menulis dan sedikit membaca maka langsung masuk kelas Bahasa satu (B1) . Aku tidak mengerti tulisan papan tulis yang berbahasa Indonesia. Ternyata Sekolah itu mengutamakan pendidikan bahasa Indonesia. Aku menjalani masa percobaan selama 3 (tiga) bulan, Selama masa percobaan itu, aku tidak mau berbicara karena tidak mengerti bahasa Indonesia, hanya tahu bahasa Jawa. Kepala sekolah Sr. Myriam Therese, PMY (RIP) mengirim surat kepada orang tuaku untuk menjemputku pulang, artinya aku dikeluarkan dari sekolah. Namun orang tuaku memahami situasiku sama seperti „orang asing“ yang tidak paham bahasa lain. Orang tuaku membalas surat dengan meyakinkan bahwa aku pasti dapat belajar bahasa Indonesia sama seperti Suster Belanda belajar bahasa Indonesia. Akhirnya surat balasan dari orang tua mendapat tanggapan positip, maka aku tidak jadi dikeluarkan. Konsekwensinya aku harus diturunkan ke kelas Artikulasi Satu (A1) diajarkan oleh suster Belanda, Sr. Henricia, PMY. Dia adalah guru yang keras dan galak. Di kelas ini aku dididik terapi wicara dengan artikulasi harus jelas dan tepat dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa tidak berlaku di sekolah karena sudah diprogram kurikulum sekolah untuk mendidik murid SLB/B agar menguasai Bahasa Indonesia dengan benar. Di kelas Artikulasi satu inilah aku diperkenalkan Bahasa Indonesia oleh suster Belanda yakni Sr. Henricia,PMY. Terima Kasih Sr,. Henricia berhasil melatih artikulasi saya dan mengajarkan dasar bahasa Indonesia dengan mudah. Saya ingat susah melafalkan huruf konsonan ialah NG dan H, sering sengau. Beruntung dari awal saya sudah bisa langsung melafal eeerrrR…..heheehe.
Ayahku dihadiahi oleh sahabatnya sebuah Alat Bantu Dengar (ABD) merk Philips yang dibelinya di Nederland untuk saya. Sebelum masuk ke sekolah, aku sudah menggunakan ABD lebih dulu. Setiap minggu 2 kali aku diberi les /latihan pendengaran dengan suster Belanda ahli audiologi, Sr. Wiborada, PMY (RIP). Ketika sedang latihan pendengaran, guru kelas Sr. Henricia, PMY masuk ke ruang audiogram dengan membawa materi pelajaran. Beliau menyodorkan 2 lembar kertas yang sudah ditempelkan gambar-gambar. Yang satu sudah ada tulisan keterangan gambar dan yang satu lain tanpa tulisan keterangan gambar. Aku disuruh mencocokkan tulisan pada tiap gambar pada lembaran tanpa tulisan, aku bingung karena tidak tahu nama2 gambar itu. Maka aku asal saja (ngawur) mencocokkannya. „Salah!“, kata Sr. Henricia menggelengkan kepala. Aku membantah ngotot….sambil menunjuk pada gambar papaya….“Iki kates!“, gambar rumah…“iki omah!” . Aku heran dan berpikir kenapa salah terus padahal aku diajarkan oleh guru les ibu Murniati dan orang tuaku di rumah. Sr. Henricia menyuruh aku mencocokkan tulisan pada lembaran gambar yang sudah ada tulisannya. Karena aku bisa membaca tulisan lalu dapat mencocokkan tulisan dengan tiap gambar. “ Betul ”, kata Sr. Henricia menganggukkan kepala. Lalu Sr. Henricia menyuruh saya menghafalkan nama2 gambar itu dengan mencocokkan dengan tulisan gambar2 itu. Begitu setiap dua minggu sekali aku latihan pendengaran, tahap per tahap diperkenalkan kata benda dan kata kerja bahasa Indonesia dan sekaligus belajar artikulasi mengucapkan kata-kata sesuai gambar itu. Aku diuji lagi mencocokkan tulisan pada gambar tanpa tulisan keterangan gambar, kadang2 benar dan juga salah. Di ruang Audiogram setelah latihan pendengaran selesai, aku diberi les bahasa Indonesia seperti pelajaran kelas persiapan (klas Nol). Di situ saya cepat dapat belajar bahasa Indonesia dengan mudah. Terima kasih Sr. Henricia,PMY (RIP) dan Sr. Wiborada,PMY(RIP)
Di kelas Artikulasi 1 (satu), saya berteman sekelas dengan 16 (enam belas) murid yang berasal dari berbagai kota, hidup bersama di asrama, belajar Dasar Tata Bahasa Indonesia secara sederhana. Belajar membuat kalimat berita, kalimat tanya dan kalimat negatif. Semakin bersemangat belajar Bahasa Indonesia, sehari-hari bergaul dengan teman-teman di asrama sekolah menggunakan Bahasa Indonesia dan tentu saja dengan berisyarat. Namun bahasa isyarat di lingkungan asrama dan sekolah itu sangat dilarang keras. Setiap bulan sekali kelas Artikulasi satu ini mulai belajar menulis surat kepada orang tua masing-masing. Sejak itulah saya pertama kali menulis surat kepada orang tuaku. Keluargaku yang menerima surat sangat bahagia membaca isi surat yang menunjukkan bahwa saya sudah bisa menulis dengan bahasa Indonesia secara sederhana.
Gara-gara aku semakin senang menyukai bahkan mencintai Bahasa Indonesia maka benar2 lupalah bahasa Jawa! Akibatnya saya menjadi kaku gagap berkomunuikasi dengan teman2 tetangga. Mereka kaget …. saya berubah sekali …. tidak berbahasa Jawa…. heheee
Berhubung senang menulis (mengarang) dapat mengungkapkan gagasan dengan tutur bahasa dengan baik. Membuat kalimat yang baik dan sopan menujukkan jati diri. Namun saya harus kembali bisa berbahasa Jawa lagi…..lebih mendalam.
Demikian sepenggal pengalaman saya itu.
Selamat Hari SUMPAH PEMUDA.
Ditulis oleh:
Dita Rukmini S. (DU, 1973)