“ Saya dan Beat mau ke Yogyakarta besok pada tanggal 27 Nopember 2023 bersama adikku Kai-Kai, selama satu minggu menginap di Yogyakarta. Apakah bisa sewa mobil untuk ke Wonosobo ?”, pesan Junny Johan (nama kecilnya – A Yun ) sempat mengejutkan saya. Terkesima membaca pesannya karena betapa lamanya tidak berkontak selama ber-tahun2… ! Padahal saya tahu bahwa Junny setiap tahun pulang ke Jakarta untuk menengok Mama yang sedang sakit karena usia lanjut. Saya dapat memahami keadaannya. Betapa gembiranya hatiku bertemu dengan bekas teman sekelasku.
Kami berdiskusi tentang jadwal kunjungannya ke Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah mengunjungi almamater Dena-Upakara Wonosobo, untuk melepas kerinduannya, ingin melihat perkembangan sambil bernostalgia serta cuci mata di kota Budaya Yogyakarta.
Saya segera memberitahukan kepada Sr. Antoni – mantan guru kami, tentang rencana kunjungan Junny, tetapi ternyata tidak bisa bertemu karena dia berada di Bandung acara retret selama sebulan. “ Waaah….sayang sekali! Kenapa tidak memberi tahu lebih dulu agar bisa meluangkan waktu untuk bertemu? ”, Sr. Antoni kecewa. Maka saya mohon bu Tumir untuk mewakili Sr. Antonie menerima kedatangan alumni Dena-Upakara dari Swiss itu.
Berangkatlah 5 orang ialah : Beat serta Junny, Kai-kai serta Ping-ping dan Saya ke Wonosobo dengan naik mobil dari Yogyakarta yang disewakan oleh Kai2 (alumnus DB) – adik bungsu Junny dari Sukabumi. Supaya tidak kesiangan tiba di Wonosobo, kami melalui rute jalan pe n desaan Sapuran agar menyingkat waktu . Kami tidak melalui Temanggung, jalan protokol yang besar . Kami berkomunikasi dengan Bahasa isyarat internasional, tapi ternyata Beat sudah lumayan bisa berbahasa Indonesia, berkat isterinya Junny yang mengajarkannya..….he he he.
Ketika melewati kota Magelang, Beat bertanya:” Mengapa Wonosobo…..jaaauuuuh…..?” Saya menjelaskan: ” Suster Belanda memilih suasana desa dengan udara sejuk di pegunungan, bisa menikmati gunung-gunung, karena di Belanda tidak ada gunung. Bagus untuk proses belajar mengajar anak tuli … .jauh dari keramaian …. harus suasana tenang ”. Beat mengerti berkomentar: “ Suster Belanda pinter! ” .
“ Waauw….jalan maut! Naik turun terus.. Di Eropa tidak seperti itu, tetapi jalan yang tidak berkelok2 …rata ”, kata Beat heran sambil memperhatikan pengemudi yang tampak terampil dan berani.
Setiba Wonosobo sekitar jam. 10.30, kami lebih dulu menikmati sarapan di warung makan di jalan pemuda, mereka datang dari Swiss rindu menu kuliner Jawa. Untunglah…lidah Beat tidak bermasalah. Junny antusias memesan banyak sekali menu Jawa antara lain sayur oseng2 pare, sayur lodeh, tempe goreng.…. pokoknya macam2lah….disantapnya dengan nikmat. “ Enak sekali…. muraaaah ”, kata Junny tampak sangat menikmatinya. Saya WA ke bu Tumir memberitahu bahwa kami sebentar lagi tiba di Dena Upakara.
Tiba2 Junny teringat :” Waduuuh….lupa bawa oleh-oleh untuk Dena-Upakara! Gimana ?” Saya sarankan Junny memberikan uang ala kadarnya ….terserah saja sebagai pengganti oleh2. Tidak apa2 malah mungkin dibutuhkannya. Junny setuju lalu mencari Bank untuk menukarkan uang asing ke rupiah. Kebetulan dari rumah makan tadi dekat dengan Bank MANDIRI, hanya berjejeran berselang 3 rumah. Kami berjalan kaki saja ke Bank itu.
“ Maaf bu, mau dibantu ?, tanya pak Satpam Bank.
“ Mau tukar uang ke rupiah, adakah ?”, kujawab.
“ Oh maaf tidak ada pelayanan penukaran uang asing. Di Wonosobo belum ada .”
“ Oooh….hmmm .”, Junny dan saya mendehem secara bersamaan.
Junny bingung ingin menukarkan uang ke rupiah, berhubung setiba Indonesia belum sempat menukar uang karena baru datang dari Hong Kong. Beat dan Junny akhirnya menyumbangkan uang Hong Kong dan Euro ala kadarnya untuk Dena-Upakara. Telah diterima oleh Suster Theresia yang mewakili Ketua Yayasan Dena – Upakara. Semoga kemurahan hati mereka dibalas Tuhan YMK berlipat ganda!
Di Dena-Upakara, memperkenalkan tamu itu kepada bu Tumir, langsung diantarkan ke kelas persiapan atau kelas nol, wajah Junny berbinar2 saat memasuki kelas persiapan, mengamati ruang kelas, memperhatikan meja bangku sambil meraba-raba, berkomentar: “ Waah….meja bangku masih bagus …kuat… usia berapa tahun ya… ?”
Beat pun mengagumi sambil mengamati bangunan ruang aula terbuka (tempat bermain) yang ditopang palang kayu besar yang masih kuat sekali, dia memuji bangunan jaman Belanda yang masih bagus dan terawat baik sekali.
Junny dan saya baru tahu melihat di pojok kelas persiapan ada kamar kecil, dulu belum ada kamar kecil, jaman dulu anak2 kelas kecil persiapan harus keluar dari kelas menuju ke kamar kecil di asrama dengan menahan pipis sampai …kadang2 ngompol. Entah kapan dibangun kamar kecil di kelas persiapan itu. Anak2 persiapan kelas jaman sekarang sudah lebih nyaman belajar di kelas yang sudah tersedia kamar kecil.
Junny terkesan mengamati tanaman “pagar hidup” di tepi serambi asrama. Bayangkan pagar tanaman itu sudah berusia sangat tua, jauh sebelum kami masuk ke sekolah!. Lalu Junny minta kami berfoto bersama di depan pagar itu di depan serambi asrama.
Berkeliling di sekitar sekolah ada gedung bertingkat tapi kami tidak naik ke atas …maklum kami sudah lanjut usia nih….susah naik turun tangga. Lalu menuju ke bawah, sempat melihat ruang kerja konveksi ada beberapa tenaga jahit, mereka adalah alumni DU, di antaranya ada salah satu alumni yang low vision (indera penglihatan rendah) – alumni SLB/G Hellen Keller Indonesia (HKI) – Yogyakarta bernama Friska. Di depan ruang itu, terdapat kebun buah-buahan. Junny suka sekali pada tanaman2 yang langka, memotret pohon buah pare.
Kembali naik ke atas, kami memasuki ruang kesenian. Junny masih ingat ruang kesenian itu dulu pernah untuk acara REUNI alumni DU perdana tahun 1978. Di situ Junny pentas tarian “Bendera Belanda”. Di ruang itu ada beberapa alat musik antara lain: orgel, angklung, tambur…, kaca cermin yang besar memanjang di dinding ruang itu.
“ Ooh…ada angklung yaa ”, Junny tertarik, mencoba menggoyangkan salah satu angklung sambil mendengarkan suara…. Saya dia….Junny meng-angguk2kan kepala….” Apa yang benar-benar terdengar ?” batinku dalam hati ….Kuperhatikan kupingnya…ooh ternyata memakai ABD….! Karena dulu masih kecil di sekolah, Junny tidak pernah menggunakan ABD. Waaah….ada kemajuannya nih…
Menyusuri serambi asrama….kamar tidur …kamar makan…..ruang cuci piring / dapur untuk pelajaran masak….kamar mandi….kamar kecil…. Junny bercerita mengenang masa-masa kecilnya dididik kedisplinan oleh suster2 Belanda…. sampai aku tertawa geli atasekspresi. Yaaa….bisa membayangkan bagaimana penerapan kedisiplinannya …namun pada akhirnya menunjukkan hasil yang baik. Contohnya: dibangunkan pagi2 jam 05.00 harus mandi dengan air biasa padahal air sangat dinginiiiin….sampai kopling, lalu wajib tugas kerja membersihkan ruang2 sesuai Pembagiannya, dilarang keras bicara tanpa suara, dilarang berisyarat…dsb. Penerapan kedisplinan itu untuk mendidik kemandirian agar tidak menjadi manja.
Ke ruang tamu untuk dijamu minuman teh dan snack, kami mohon dipanggil suster yang mewakili pimpinan Yayasan Dena-Upakara untuk menerima sumbangan dari Junny. Beat dan Junny diminta membubuhkan tanda tangan serta pesan pada sebuah buku tamu yang tebal kuno di sudut ruang tamu.
Kebetulan anak2 SMP melewati ruang tamu, diterimakan untuk berkenalan dan ngobrol2 dengan Junny dipandu bu Tumir. Ternyata Beat dapat berkomunikasi dengan anak2 yang berbahasa Indonesia dengan lancar dan menggunakan Bahasa isyarat.
Kami pamit dengan perasaan bahagia dan cukup puas namun kecewa tidak bertemu dengan Sr. Antoni mantan guru kami, Suster kepala Yayasan Dena-Upakara dan Suster Kepala Sekolah. Mudah2an waktu yang akan datang dapat bertemu mereka.
“ Kalian adalah aset Dena-Upakara ! ”, kata bu Tumir seraya menjabat tangan. Kami meng-angguk2kan kepala. Pulang ke Yogyakarta sampai malam hari dengan selamat.
“ Ayooo….mau lihat Ha Ka Ii sekolah Tuli Buta, susteran pusat Pe eM Ye …..dekat, bisa ke sana ada waktu yang cukup sambil menunggu Kai-kai ke Bandara Ye Ii Aa ”, ajak mas Sugiyono. Beat dan Junny tertarik ingin sekali melihat . Kami tiba di Lembaga HKI dan susteran PMY pada siang hari.
Sayang sekali karena waktu tidak tepat dan secara tiba-tiba kami berkunjung ke situ, sehingga tidak bertemu satupun suster PMY. Namun kami sudah merasa senang bercengkrama dengan anak2 Tuli Buta didampingi ibu pengasuhnya.
Junny menitip uang kepada ibu pengasuh untuk kebutuhan anak2 itu.
Tidak lupa kami berfoto bersama anak2 Tuli Buta. Junny dan Beat merasa sangat puas mengunjungi HKI di Sedayu itu, yang luas dan besar sekali.
Cukup sekian cerita kunjungan Junny adalah alumni Dena Upakara dari Swiss yang jauh2 spesial untuk bernostalgia berhubung beberapa kali tidak bisa hadir reuni alumni Dena Upakara. (hanya satu kali pada tahun 1978).
Salam hangat dari:
Dita Rukmini (DU,1973)
Adeco Yogyakarta